Laman

Selasa, 28 Juni 2011

obrolan 2 pemuda di sebuah sore warung Kletek

Menghargai seseorang itu dengan memanusiakannya. Bukan dengan berjongkok-jongkok. Meskipun maknanya berarti, menghormat. 

Ku pikir dari sinilah orang-orang kita selalu di jajah. Budaya adalah budaya. Tetapi ketika bikin orang-orang menjadi ‘sakit’ karena musti memelas kepada mereka yang lebih tua, lebih kaya, atau lebih dari segalanya, itu berarti menghilangkan nilai kita sebagai seorang manusia. Jadi jangan salahkan penjajah bila dia betah ngangkang dan berak di kepala kita tanpa punya anggah ungguh kepada kita sebagai tuan rumah. Juga kepada raja-raja jawa yang busuk itu mereka bisa se-enak perut melakukan penghisapan dan perbudakan, karana memang orang tua kita sendiri yang mengajarkan kita selalu berjongkok-jongkok menghormat. Dari sinilah persooalan bermula.

Kamis, 23 Juni 2011

Kerajaan Mas Gondrong yang tidak lagi Gondrong

TIMUR (mas gondrong yang baik)

Aku kembali menyusuri jejak itu. Seorang yang dengan berat hati ku katakan ‘pernah berpengaruh pada sajak-sajaku’; mengerikan. Ya, tapi aku tidak menyesal. Sebab segala sesuatu mesti berkubang untuk memperoleh kedalaman dan kematangan. Karena sampai saat ini aku masih terus mengandung anak-anak rohaniku dan terpaksa lahir karena kebutuhan eksistensi dan urusan “komitmen” – maka ia tercecer dimana-mana – kumuh, lusuh dan tak terurus. Aku sedih dengan keadaan anak-anak rohaniku. Berupa-rupa nasibnya; ada yang di maki, di cerca, dan di hujat habis sebagai sesuatu yang ‘putus asa’. Ada juga yang ‘di sanjung’ sekalipun terkadang aku lebih mewaspadai sanjungan ketimbang makian. 

Aku senang kau diam: dengan begitu aku bisa menciummu lebih lama

Sayang sekali aku terlambat datang di hidupmu. Seorang perempuan telah mengambil seluruh hidup dan cintamu, bahkan tidak sedikitpun kau menyisakannya untukku, meskipun sedikit. Tapi mengapa aku rela menjadi kekasihmu, menemanimu setiap malam ketika kau butuh, atau sedang kesal karena mantanmu tak lagi menghiraukan setiap komentar-komentarmu di status faceboknya. Yah, aku selalu rela, dan itu semua hanya ku lakukan untukmu.

Seperti akhir-akhir ini, sesuai permintaanmu, aku selalu memasang foto profil facebook dengan gaya dan senyum yang mirip dengan mantanmu. Memang senyumku dengan senyumnya hampir mirip, tapi aku tau dia lebih cantik dariku. Dan tanpa pikir panjang, aku lakukan semua itu atas nama cinta dan pembuktian pengabdianku sebagai kekasihmu. 

Rabu, 22 Juni 2011

tips meredakan amarah pacar

Dengan soundtrack lagu Negri Di Awan aku menulis tips buat teman saya – Jeko Bi***b - yang di cemberutin sama – unpag (untuPAGER). Sobat DALBOwan dan DALBOwati, pecinta Pakde Dalbo. Posting kali ini tentang TIPS-TIPS MEREDAKAN AMARAH PACAR.
Bagi kalian yang sedang di ngambekin ama pacar. Caranya gampang banget, anak yang baru lahir aja udah tau seandainya mereka sering baca pakde dalbo. Makanya yang merasa udah tua, buruan baca pakde dalbo.
  
Oke, langsung aja:

Selasa, 21 Juni 2011

melihat orang berkasih-kasih: aku menulis


: Melihat dua orang pemuda berkasih-kasih, aku menulis

Kita memang pernah bertemu untuk sekedar bercinta-cintaan. Banyak malam kita lewati berdua, untuk sekedar suka, merindukan, dan banyak malam yang kita ingat betul bagaimana persisnya. Dan pada saat itu, kita mengikat janji.

Namun kita telah terpisah cukup lama. Menjalani kehidupan dengan jalan kita masing-masing: kau menikah dan aku kuliah lagi dan mengembara. Entah bagaimana persisnya, tapi yang jelas begitu sakit rasanya untuk menganang masa-masa kita saling menangisi diri karena dikhianati nasib. Seingatku kita menangis saat gelap mendatangi kita, di pinggiran jalan kita saling mengucapkan selamat berpisah dan peluk cium sekedarnya sebagai tanda cerita telah usai.

Kau pergi dan harus menjalani hidupmu dengan menikahi seorang lelaki yang baru kau kenal. Tapi ironisnya, itulah pilihanmu. Sedangkan dari jauh, aku mengutuki: menyumpah serapah pada wajah jodoh yang tak ubahnya judi lotre.

Tentang Perempuan

:untuk seorang perempuan yang melipat mukanya menjadi tiga ratus
“Bagaimana aku harus memanggilmu?”
“Suka-suka kau mau panggil apa.”
“Begitukah? Bagaimana kalau aku memanggilmu pink?” Kini kau tertegun.
“Mengapa? Karena warna bajuku kah?” Tukasmu sambil menilik kausmu, seperti tidak pernah melihat warna di kausmu sebelumnya. “Terserah kau saja. Tapi sepertinya aku suka nama itu.”
Aku tersenyum. Kau pun melakukan hal yang sama. Kemudian memelukku. Mencari-cari bibirku untuk kemudian kau lumat dengan rakus. Dan rasanya tubuhku seperti melayang tinggi, terbentur awan dendam yang sangat gelap. Aku tak tau apa itu. Sebab kau tak memintaku bertanya.
“Diam dan rasakan. Kalau kau merasa perlu menikmatinya. Silahkan! Aku pun tak berkeberatan.” Seperti kerbau yang di cocok hidungnya: aku diam. Seperti Musa yang tak sabar tingkah polah sang Khidir: aku tak bisa menahan hatiku untuk diam.

Selasa, 14 Juni 2011

riwayat api


senja yang menarik bunga-bunga adalah hari ini,
dimana aku menemukan biji matamu diantara kerumun badik

sehabis malam,
cuma resah membatu
menebak siapa yang datang saat pintu berderit dan terbuka
napasmu kah yang sampai lebih dulu sebelum tiba pelukan?

Reagae: Metode Tulit Lepas Dari Luka

Pagi ini sepi seperti biasanya. Memang pagi di sini tak pernah riuh macam di kota. Tapi aku merasa pagi di kamar ini adalah yang paling teduh dan bisa membuat aku berdecak. Sebab, tidak ada yang lebih indah dan nyaman dibanding yang lain; berderet buku, sebuah kursi rotan tua, gambar-gambar bodoh, meja belajar yang tak pernah nampak rapi, dua buah lukisan karyaku sewaktu SMP; cuma benda-benda ini yang membuat aku tetap merasa aman dari apapun. Tapi aku tau, suatu saat aku mesti pergi untuk bertualang dan mendapatkan kamar baru lagi. Karena meskipun nyaman – tanpa petualangan – aku akan menjadi kerdil.

Akhir-akhir ini aku merasa kesendirian hadir dengan sangat mencekik. Entah mengapa aku jadi merasa sering sendiri. Untung saja malam tadi, si Tulus dan Bajuri menyempatkan datang untuk mengunjungiku di Warung Kletek.

Kamis, 09 Juni 2011

Seniman


Seniman, kata yang mengerikan dalam kamus ingatanku. Ia mendobrak; terkadang diam, namun mengorganisir perlawanan demi perlawanan, dimana setiap pemberontakan yang lahir selalu bersumber dari kesadarannya akan sesuatu. Dan sesuatu itu apa, itu bisa sekedar label yang sengaja “diciptakan untuk…” atau melakukan sesuatu yang memang “harus, agar…”.

Rabu, 08 Juni 2011

Gamal

Aku ingat sejarah para nabi. Sejarah orang-orang yang dibikin nihil dengan keajaiban Tuhan. Tapi mendadak aku rindu sebuah ungkapan seorang Gamal – tukang orasi : “Pikirkan! Bagaimana kalau kita yang hidup di jaman nabi-nabi dengan wahyu tuhan itu? Mengapa Tuhan tidak memilih meletakkan wahyunya di masa semburatnya lumpur dengan senyum Bakrie keparat?”

Gila pikirku. Untuk apa membayangkan sesuatu yang tidak akan pernah terjadi. Sesuatu yang tidak akan merubah apapun, sesentipun gejolak hidup ‘modern’ ini.
“Apa kau pikir kau adalah segerombol orang yang mengikuti nabi dari belakang dan mendukungnya dengan pedang terhunus? Tapi sayangnya aku lebih meyakini bila kau adalah penghujat, dan salah seorang yang melemari kening nabi dengan batu.” Ujarnya sambil menyeringai. Kemudian menghilang.