Laman

Selasa, 24 September 2013

Artrock, Kantin dan Tahi Sapi

Sekarang aku sedang berada di MIPA Corner UB. Tempat ini membuatku ingat kantin sekolah semasa SMA dulu. Meski pengunjung dan kelas sosialnya berbeda, yang jelas tempat ini tetaplah tempat istirahat dan tempat menikmati makan atau jajanan. Mungkin yang membedakan dengan kantin sekolahku dulu adalah waktu-waktu yang di pakai untuk ke kantin. Dulu, sewaktu sekolah, hanya jam-jam tertentu saja kita boleh ke sana. Selebihnya adalah jeweran guru dan ancaman ruang BK yang menjadi momok siswa sekolah untuk dipaksa mengakui perbuatan dosa. Berbeda dengan di sini. Tempat ini, meski namanya sudah berbeda, selalu ramai dengan banyak mahasiswa yang datang dan pergi untuk bisa menikmati sarapan, menunggu jam kuliah selanjutnya, atau mungkin sekedar membicarakan mobil baru kekasih.

Sepertinya sewaktu masih di kantin sekolah, jam-jam istirahat begitu berarti. Waktu istirahat yang singkat membuatku tidak menyia-nyiakan waktu untuk bicara hal-hal yang tak penting. Menikmati santapan hidangan murah tak bergizi dengan khusuk. Tak ada perbincangan soal mobil kekasih, soal skripsi, soal upaya menjilat dosen demi nilai atau segala berhala modern.  Tapi, entah mengapa aku justru lebih menikmati masa-masa sekolah dulu. Di sini, aku hanya mendapati tumpukan basa-basi menyenangkan. Hal-hal semacam ini adalah hal menggelikan yang disadari, dan sekarang pun aku menjadi bagian dari basa-basi masal karena kebetulan aku juga sedang membunuh waktu.

Di tempat ini, aku pun masih mengenali watak-watak dan obrolan yang menjadi kenanganku semasa kuliah. Jenis-jenis orang dan tipe organisasi yang sudah umum digeluti. Dan sekarang ini aku berada di lingkungan anak-anak PMII yang membicarakan soal gerakan dan kemapanan secara bersamaan. Jancuk sekali memang. Tapi, memang orang-orang semacam inilah yang memenuhi kampus-kampus. Meminjam istilah Rori, obrolan orang-orang pergerakan macam ini adalah dagelan logis yang asik. Basa-basi yang membuat setiap orang kehilangan dirinya untuk beberapa saat dan menikmati nikmatnya menjadi orang lain; menjadi modern dalam pengertian yang dangkal.

Tiba-tiba aku teringat cerita Defy dan Intan sewaktu ngopi di Artrock Malang. Mereka berdua mendongengiku bila di Artrock sana tak boleh ada perbincangan-perbincangan gerakan mahasiswa semacam PMII, HMI, GMNI, dan sejenisnya. Kalau tidak ingin diusir, sebaiknya tidak rapat organisasi atau membicarakan gerakan di sana. Tapi, anehnya orang-orang di Artrock tidak mengusir rapat-rapat kawan-kawan PPMI. Karena PPMI itu orang pers, katanya. Ada apa dengan pers? Ada apa dengan PMII, HMI? Setahuku, tiap orang yang ke sana sama-sama membayar. Tidak ngutang. Apa pemilik Artrock adalah orang yang ‘letih’ macam aku sekarang?

Kalau apa yang dikatakan Defy dan Intan semalam itu benar, aku jadi ingin menanyakan langsung pada pemilik Artrock yang menurutku cukup unik. Kebaraniannya menolak pelanggan adalah sebentuk kelelahan puncak dari segala kembang kertas yang tengik. Aku membayangkan obrolan-obrolan orang PMII dkk membuat nasi dalam piring berubah menjadi tahi sapi. Merubah kopi dalam gelas jadi kencing kuda.
Sebenarnya, setelah bekerja dan punya modal nanti, aku juga ingin membuka warung kopi. Ada yang untuk kalangan menengah ke bawah, ada juga yang untuk mahasiswa. Tapi, beranikah aku seperti pemilik warung Artrock yang menolak obrolan-obrolan tahi sapi dan kencing kuda? Beranikah aku menolak uang? Atau mungkin boleh juga sekiranya aku membuat sebuah rumah makan, mungkin kantin di kampus-kampus yang hanya menerima orang datang di jam-jam tertentu saja dan melarang ada obrolan-obrolan sombong dunia modern. Kupikir itu menarik juga.

Kerinduan akan kantin dan warung kopi yang penuh kebersahajaan memenuhi pikiranku. Sepertinya menarik untuk kembali pada masa silam dan mencari kebersahajaan pada waktu, tempat, dan orang yang tepat. Bisakah aku menerima orang-orang seperti yang ada di hadapanku sekarang: membicarakan uang proyek apartemen dengan keuntungan besar dikantongnya tapi masih memerlukan diri ngutis rokoknya. Mungkin pemilik Artrock Malang ada benarnya. Bukankah ini adalah tahi sapi serta kencing kuda paling nyata? Dan tiba-tiba pikiran burukku muncul: ingin rasanya aku membelikan sebatang rokok eceran dan memberikan padanya seraya berkata: ‘mas, ini rokok. Bisakah kau berhenti jadi tahi sapi dan kencing kuda? Aku muak melihatmu. Setelah merokok, sebaiknya kau jadi lebih bermanfaat kalau kau jadi pupuk para petani di desa.’ Ah, betapa menyenangkannya. Ya, keinginanku untuk bikin warung kopi dan sebuah kantin di universitas jadi semakin besar sekarang. Meski aku tak tahu apa aku berani mengusir orang-orang yang hanya membuat piring dan gelas berisi kotoran belaka.

Cdvt


Malang, 16 September 2013 

Senin, 16 September 2013

Satpam dini hari

Perlahan aku mengenali bangku-bangku kosong yang mulai ditinggalkan setelah lampu padam. Satpam berjalan sesekali menelusuri lorong-lorong gelap dan memastikan tak ada yang kemalingan. Sebenarnya aku merasa kasihan dengannya. Mungkin dia berjalan mondar-mandir bukan sekedar pekerjaannya sebagai seorang penjaga, tapi hidupnya sudah banyak dimalingi oleh sesuatu yang tak ia mengerti. Mungkin ia hanya tau apa itu berkeliling untuk memastikan ia tidak kemalingan untuk yang kedua kalinya.
Kemudian, perlahan namun pasti, aku mencoba mengenali diriku. Tapi, kosong! Tak satu pun jawaban bisa kudapatkan. Segalanya gelap seperti lorong-lorong dengan bangku kosong yang ditinggalkan. Sepertinya aku baru kali ini mencoba mengenali diriku dengan serius. Dan baru kali ini pula aku menemukan kekosongan yang gigil dengan kesunyian yang suwung. Meski, aku merasa seperti ada suara langkah kaki yang mengawasiku; suara batuk di dalam ruangan; suara burung terdengar seperti leher yang tercekik. Siapa sebenarnya diriku?
Sebentar! Kali ini kurasakan suasana menjadi sedikit berubah. Binatang malam menyanyi seperti sedang merayakan sesuatu. Apa itu: ‘tarian kosmos’, katanya. Lalu sekelompok pemuda yang berarak-arakan sambil mengumpat mengamini. Juga suara orang menstarter mobil lalu pegi dari kegelapan yang membuatku hampir bunuh diri. Mungkin mereka ketakutan. Dan sekarang yang tersisa hanya rasa iri dan keinginan untuk kehangatan gelap melayang di atap. Oya, aku hampir lupa. Aku ingin mengenali diriku sedikit saja sebelum aku jadi serakah ketika pagi tiba. Menjadi sama dengan yang lain untuk tergesa-gesa seperti dikejar kenyataan hidup dengan parangnya yang tajam.
Sekarang satpam itu kembali lagi modar-mandir. Meski ia cuma bayangan, kehadirannya memberikan kengerian yang sangat. Tiba-tiba ia nampak seperti sesuatu yang sungil. Ia bicara pendek-pendek seperti arwah yang mati lantaran kesal dimalingi. “Mengapa kau masih di sini? Apa kau juga kemalingan seperti aku dan ingin menemaniku berjaga-jaga agar tak kemalingan untuk kedua kalinya? Apa orang miskin sepertiku tidak bisa membunuh lebih sadis bila perut lapar keluargaku memekakkan telingaku? Apa Tuhan maha pengampun?” Tapi sayangnya, tak satu pun dari pertannyaanya mampu kujawab dengan baik. Jemariku terus menari di atas keyboard dan pura-pura tak peduli dengan pertanyaannya.
Mungkin rasa kesalnya menjadi-jadi ketika merasa tak puas dengan diamku hingga kali ini pertannyaannya semakin tegas: ‘cuk! Siapa kau sebenarnya? Segawon dari dunia mana kau ini?’ Bulatan kelereng di matanya berkilat-kilat mencari mataku. ‘Apa kau tersesat anak muda?’ Kejar bayangan satpam itu.
Mungkin bayangan satpam itu mengerti apa yang sedang kupikirkan. Kesunyian adalah sesuatu yang sangat sadis dan bisa membunuhmu kapan pun. Dan keadaan semacam inilah yang kubenci. Gugatan pikiran ini membuatku teringat pada kawan susahku yang sekarang mungkin jauh lelap karena mabuk ketiak kekasihnya usai pergumulan hebat. Mungkin pergumulan adalah penawar yang mujarab untuk insomnia plus plus. Plus pikiran dan gelapnya keinginan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari insomnia. Mungkin juga keadaan seperti ini adalah salah satu himpitan yang membuat seseorang memerlukan menikah. Merasakan bebauan wingit seorang teman tidur: istri, suami.
‘Anak muda, aku ini telah menikah! Mengapa kau tak mendiskusikannya denganku perihal kesimpulanmu mengenai kebutuhan berumah tangga?’ Tanya bayangan satpam. Tapi, aku kembali merasa tak tega bertanya balik padanya: bagaimana mungkin kau selamat dari bahaya laten materialisme meretua. Namun, sebelum aku menyelesaikan kata-kataku, ia sudah memotong pembicaraan.
‘Mungkin karena aku tak sekolah hingga membuat beban hidup serta tuntutan status pasca di dunia dan kecintaan orang tua justru membunuh kisa sebagai manusia.’
Kai ini tak seorang satpam pun menemaniku. Kabarnya ia akan pergi jauh. Kini giliran pemungut gelas-gelas plastik air mineral menjadi teman kala suwung. Ia juga nyeltuk dan menyarankan untuk menikah saja. Terus terang kata itu sedikit mengiburku. Namun aku tetap menunggu jawaban mengenai maksud kata-katanya. Dan benar saja. Di akhir kata-katanya ia juga berujar padaku: siapa dirimu? Kalau kau masih bodoh lantaran tak mengerti ‘siapa dirimu, maka simpan sayapmu untuk angan-angan yang sebenarnya tak perlu di tunggu.

Satu lagi! Setidaknya ia tidak sebegitu mengganggu seperti bayangan pak satpam diantara gelapap.




cdvt