Laman

Minggu, 29 Desember 2013

Media Massa dan Wajah Kita


-Catatan akhir tahun 2013

Apa yang dipikirkan Tagore ketika ia menolak sejarah; penulisaan sejarah — segala sesuatu yang berkaitan dengan representasi masa silam yang baginya hanya omong kosong.
Saya pikir Tagore tidak sedang demam ketika ia menafikkan sejarah. Karena sejarah selalu punya masalah dengan proses represent (menghadirkan kembali) — penggalan kisah-kisah dari penggalian manuskrip, analisa, penafsiran dan spekulasi-spekulasi yang terburu-buru jadi keniscayaan.
Kalau dulu, Tagore boleh kesal dengan sejarah yang menurutnya sebagai upaya representasi yang gagal. Maka hari ini, upaya representasi jadi pekerjaan rumah yang tak selesai bagi media.
Perdebatan mengenai media dari berbagai paradigma — antara positifistik, yang menganggap media sebagai upaya murni untuk menghadirkan fakta ke dalam tulisan sebagai mana aslinya; media dalam paradigma konstruksionis, yang mengasumsikan media sebagai upaya mengkonstruksi fakta berdasarkan kepentingan media — masih belum selesai.
Tapi, bukan itu yang ingin saya bicarakan. Karena setiap orang punya hurufnya sendiri dalam menilai media. Terutama pada fungsinya yang digadang-gadang (masih) sebagai pilar ke empat demokrasi.
Mungkin Tagore boleh menolak sejarah, tapi kita tidak bisa menafikkan media sebagai salah satu alat produksi sejarah yang primer. Media berkuasa atas pikiran dan kesadaran yang diam-diam terkonstruksi sebagaimana kehendak media. Tapi, bisakah konstruksi media pada pembaca bisa adil sebagaimana fakta yang coba dihadirkan kembali oleh media? Ataukah kita selama ini sedang mempercayakan patung wajah kita sendiri pada media; sang seniman pemahat? Kalau kita percaya, sejauh mana ingatan media berhasil merekam wajah kemanusiaan kita.

Kamis, 26 Desember 2013

Demokrasi dan Ketidak-pedulian

”Aku benci ketidak-pedulian… Ketidak-pedulian dan apati sama dengan benalu, sikap pengecut.” — Antonio Gramsci.
Membaca penuturan Gramsci membuatku merinding. Menyadari betapa kerasnya manusia ketika geram, dendam, dan benci.
Mungkin Gramsci kesal karena terpenjara dalam sel Regina Coeli, Roma, saat rezim Musolini berkuasa. Sesuatu yang mungkin ia anggap sebagai pengekangan akal-pikiranyang (mungkin) dari sana ia berpikir: saya ingin melakukan sesuatu dengan partai komunis saya, tapi terpenjara; sementara kau sebaliknya.
Saya tak ingin mengelak dari tuduhan Gramsci yang mungkin juga dialamatkan pada saya. Tapi, sebagai seorang Marxis yang mengkritik kelas-kelas sosial sebagai iblis, ia melupakan bila kelas sosial juga lahir dari kesadaran kelas akibat kesanggupan dari warisan sejarah setiap orang yang kerap berbeda.
Gramsci sanggup mengelola hidupnya dengan rasional hingga pernah menjabat sebagai ketua Partai Komunis Italia dan punya kesempatan melakukan pertentangan dengan Musolini.
Lalu bagaimana dengan orang yang disebutnya apati? Orang yang dia sebut pengecut karena tidak melakukan sesuatu. Tunggu! ”Sesuatu” itu apa? Apakah ”sesuatu” itu selalu hal besar yang berkaitan dengan sejarah? Ah, Gramsci memang pengikut Marxis yang baik. Ia berpikir ”masa depan” atau kecemerlangan sejarah dibawah panji-panji komunis adalah tujuan sejarah dan sesuatu yang mutlak bagi setiap orang.

Minggu, 22 Desember 2013

Sufi Gang Dolly dan Satpam

Keimanan yang telah mencapai puncaknya perlu kehadiran setan; gatholoco; bandit; jin; atau segala hal yang menjadi antitesis keimanan. Sebab, keimanan yang tumbuh tanpa penguji adalah hambar; bisa jadi barbar. Mungkin karena itu seorang sufi perlu tinggal di Dolly. Mungkin yang bukan sufi salon harus bermukim di Kremil dan punya kegemaran ngopi di warung remang-remang dan warung pangku.

Konon, sepengetahuan saya, sufi itu tidak bikin lembaga atau organisasi  agama yang melakukan penarikan dana pada anggota agar bisa hidup dan eksis. Kabarnya juga, organisasi adalah strategi setan  pasca kelahiran Yesus untuk menyesatkan dan membuat kastanisasi keimanan sebagai akibat dari hierarki yang jadi konsekwensi logis sebuah organisasi.

Senin, 16 Desember 2013

Nihilisme dan ”Tuhan Baru”

”Sebaiknya kita memang harus percaya. Segala hal yang hari ini ’dituhankan’ akan bangkrut dengan sendirinya; habis tanpa sisa. Termasuk dalam urusan ketimpangan hidup, penindasan di dunia kerja, dan segala bentuk nilai yang membelenggu pada akhirnya akan habis. Kita hanya musti percaya bila nihilisme itu real. Sekali lagi hanya soal waktu,” kataku pada mahasiswa-mahasiswi ababil, di suatu sore, pada jaman masih doyan omong.

Waktu itu mahasiswa yang aku kuliahi hanya manggut-manggut (sepertinya mereka percaya), atau mungkin diam-diam mengomel dalam dirinya: orang ini sudah gila, jadi sebaiknya saya manggut-manggut biar dia senang ketimbang dia ngamuk, mengomel dan segera usai ceramahnya.

Tidak terbesit untuk berpikir: adakah diantara orang yang aku ceramahi ini termasuk orang-orang yang bosan menunggu nasib baik berpihak. Bosan miskin, atau orang-orang yang sedang terpinggirkan, atau orang yang sudah terlanjur frustasi.

Kepada mahasiswa-mahasiswa yang pernah mendengar bualan saya soal hidup, maafkan saya.

Kamis, 12 Desember 2013

Petani

Petani! Saya pikir mereka adalah bagian dari sebuah sistem dalam kehidupan, yang memiliki ”jalan sunyi” yang tak mudah kita pahami bila tak dilahirkan sebagai ”petani” yang ”bertani” dengan benar.

Bertani, bagiku, punya jalan panjang ”puasanya” sendiri, hingga mereka tiba pada sebuah kesunyian yang gigil. Apakah puasa petani itu berarti bersabar, menerima, menghamba pada apapun yang membuat mereka semaki khusyuk bersunyi-sunyi; mendekat dan bersetia pada kosmos.

Saya tidak ingin mengatakan bila petani harus menjalani kodratnya dilindas pemodal, atau kebijakan yang tidak berpihak. Tapi, mungkin, petani tidak akan ”bertani” apabila mereka tidak bersakit-sakit dan mengalah, pasrah dan sadar menjalani kodrat mereka. Dan saya tahu persis bila setiap orang bebas memilih jalan hidupnya menjadi apapun yang mereka mau. Juga, aku pikir, tak seorang pun mendambakan dirinya berada pada kondisi sengsara, kecuali dia seorang masokis. Harus saya katakan pula bila petani yang bertani juga tidak selalu terpenuhi kebutuhan hidupnya. Paling tidak, dengan mereka bertani, mereka memiliki harapan. Dan harapan itulah yang membuat mereka mencukupkan diri, membatasi, dan belajar berkata ”tidak” pada hidup sehingga mereka memperoleh ketenangan. 

Senin, 09 Desember 2013

Omah Munir





Siapa yang tak kenal Suciwati Munir? Istri dari Munir Said Thalib, salah satu tokoh aktivis HAM yang meninggal pada 7 September 2004 dalam perjalanan dari Jakarta ke Belanda. Mungkin Suciwati tak jauh berbeda dengan istri-istri anda semua, yang mungkin semasa hidup masih butuh merengek dibelikan TV seperti punya tetangga, ngomel pada Munir soal uang belanja yang kurang, atau mengomel soal hal-hal remeh temeh lainnya. 

Hanya mungkin yang membedakan dengan istri-istri anda adalah perjuangan yang ia lakukan ketika suaminya dibunuh. Apakah istri anda akan melakukan hal yang sama ketika anda dibunuh?
Terlepas apa yang menjadi motif perjuangan yang dilakukan Suciwati ini adalah bentuk rasa cinta seorang istri pada suami, atau upaya menolak lupa, tapi yang jelas semua itu patut diacungi jempol. 
Untuk mengenang perjuangan HAM yang dilakukan suaminya, Suciwati bersama rekan-rekannya yang peduli  pada perjuangan HAM membangun musium HAM yang ia beri nama ”Omah Munir” sebagai strategi lain menolak lupa.

Tapi, mungkin yang masih mengganjal di kedalaman saya adalah: apakah dalam sekali hidup ini kita perlu untuk menolak lupa? Apakah Munir merupakan satu-satunya orang yang harus kita ingat perjuangannya dan kita tuntaskan kasusnya?