Laman

Rabu, 20 Agustus 2014

Ciuman Sehabis Bercinta

Aku mencintai Vivi justru karena dia perempuan muda yang biasa saja. Tapi, itulah cinta, pembutaan yang asyik, menggelitik.

       Vivi adalah remaja seperti pada umumnya. Yang masih memilih ponsel berdasarkan gengsi pada kawan-kawan sebayanya. Dalam pembicaraan pun, dia juga tidak terlalu cerdas seperti mantan kekasihku yang hampir semuanya seorang penulis. 
       Sebenarnya Vivi masih terlalu muda untuk kunikahi dan belum begitu siap menjalani rumah tangga. Keinginan-keinginan dari jiwa mudanya untuk bergerombol belanja, nonton, dan jalan-jalan bersama kawan sebayanya belum bisa berkurang meskipun kita telah lama menikah. 
       Dulu, Vivi menerima pinanganku dengan syarat-syarat yang sudah aku duga sebelumnya. Tidak terlalu membebaninya urusan rumah tangga dan menolak untuk buru-buru punya anak karena belum mau repot. Dan aku pun menerima segala persyaratan yang diajukannya. Lagi pula aku bukan tipe lelaki pemaksa, dan aku mencintai kemerdekaan. Bagiku arogansi kelelakian tidak selalu dalam urusan memiliki anak. 
       Kupinang Vivi dengan keyakinan bila cinta itu memerdekakan, bukan mengekang. Lagi pula Vivi tak pernah menuntut. Selama kemerdekaannya terjamin, Vivi tak pernah cerewet untuk urusan rumah tangga, seperti kebanyakan istri yang selalu cerewet ketika suaminya pulang terlambat. Dan aku tak mempermasalahkan bila dia pulang larut. 
        Dalam urusan ranjang, Vivi tak pernah menolak dan selalu memberikan kepuasan yang kuinginkan sebagai lelaki normal. Selain itu, ada hal yang aku suka darinya: ia selalu nampak cantik ketika rambutnya basah. Juga sikap manjanya yang merengek minta dicium keningnya usai pergumulan membuatku semakin tergila-gila.