Laman

Selasa, 31 Januari 2017

Madura dan ... (sembarang isien dewe)

Madura adalah ”ayat”. Madura adalah ”Gatholoco” dalam bentuk yang lain. Ia mempertanyakan banyak hal di luar-dalam kehidupan kita.
Mungkin di luar sana, di sekitaran kita (yang tinggal di kota), Madura  nampak sebagai sesuatu yang ”menggelikan”. Olok-olok yang terkadang menyakitkan. Madura jarang absen dari anekdot-anekdot getir serta penggambaran akan ”kampung terasing” yang seakan-akan beribu-ribu kilometer jauhnya dari sesuatu yang mambu modern. Madura kerap dihadirkan di sepetak nilai dan standar-standar angkuh yang sebelumnya telah kita monopoli kebenarannya.
Meski demikian, Madura nampak tidak gemetar dengan itu semua. Masyarakat Madura yang belum kehilangan jati dirinya — di plosok-plosok desa, di gunung dan pesisir — tetap berjalan sebagaimana yang mereka yakini. Mereka menjalani hidup dengan memegang teguh ”harga diri” — sesuatu yang telah lama kita tinggalkan — dan tak rikuh dengan berbagai anggapan. Mungkin ini bagi orang tua yang dulu pernah saya kenal sembarangan di warung, di kampus, di rumah teman. Tapi bagi generasi mudanya... ah, saya sungkan sendiri jadinya. 
Tentu ingatan tentang restu pendirian Nahdatul Ulama tidak lepas dari kiyainya. Sehingga, bagi para dedemit konsultan politik para cagub dan capres harus memperhitungkan itu dan memasukkan Madura ke dalam peta strategi tersendiri. Berbagai keajaiban mengenai realitas pemilihan calon kerap dikejutkan oleh keajaiban-keajaiban di luar nalar dan logika politik. Terlepas baik-buruk hal ini, tentu rasionalitas mengenai teori marketing politik dijungkir balik di tanah gersang ini.
Ada apa dengan Madura? Meski saya sudah menghabiskan enam tahun masa studi di pulau garam dan satu tahun duduk di meja redaksi surat kabar lokal di Madura tetap tak membuat saya mengerti dan bertemu dengan “Madura” yang sebenarnya. Kalau pun ada kasus-kasus yang terjadi, tentu itu hanya di kulit luar dan tak sampai pada substansi.
Masyarakat Madura menghantam segala kemapanan dengan pola pikir masyarakatnya yang ”lugu” tapi lugas; yang terkesan ”memalukan” namun agung. Di dalam, Madura terbukti menjungkir balik toko rasionalitas dari Universitas — sebut saja Trunojoyo (bukan nama sebenarnya) — hingga bertekuk lutut. Kalau ada yang perlu bukti, pengujian, dan segala metode taik kucing agar akademisi percaya!? Mudah saja: suruh saja, kampus mengelola parkir tanpa sedikit pun melibatkan ”preman”.
Bagi orang yang punya kejelian mripat, tentu dapat melihat dengan jelas bentangan spanduk bertuliskan: ”letakkan rasionalitas anda di dalam kulkas dan perbanyaklah maklum!” Konon malaikat Jibril yang memasang spanduk tersebut agar anda tidak kecele alias tertipu dengan berbagai gejala yang mencuat. Karena Madura terbukti menjungkir rasionalitas yang dianggap mapan di segi apapun, baik soal kasak-kusuk kemenangan Soekarwo, remuknya tukang mebel asal Solo pada pilpres di empat kabupaten, dan menghajar pseudointellektual hampir seluruh penghuni kampus.

Meski dari kacamata sombong kita, Madura itu fulgar, tidak artistik, romantis dan tidak in, tapi kita tak boleh lupa banyak penyair besar lahir di tempat ini. Madura adalah puisi yang paling ”puisi”; bahasa yang (hampir) paripurna. Pencitraan laut, tanah gersang, asin dan darah mampu membuat kita pulang ke sebalik batin dan merenung dalam huma. Mencari wajah kemanusiaan yang pecah belah oleh realitas kebangsaan hari ini.
Meski saya lahir di Surabaya, tapi Madura melahirkan saya kembali sebagai manusia dengan kesadaran yang lain; terutama dalam hal menghayati arti falsafah Jawa: eling lan waspodo. Selepas ngangsu kaweruh di pulau garam ini, saya jadi tahu bila selalu ada ”rambu-rambu” dalam hidup. Selalu ada pengecualian dan kesadaran bila hidup tak sepenuhnya saklek dan punya jutaan kemungkinan. Sehingga ketika saya hendak melihat sesuatu dari satu sudut pandang, secara otomatis saya akan dikemplang oleh sisa-sisa kebijaksanaan Madura yang masih tersimpan. Semua itu mengantarkan saya pada dua kata: eling dan waspado.
Sekarang saya menumpang hidup di Jakarta. Saya tak lagi menemukan Madura sebagai kompleksitas. Saya hanya menemukan beberapa gelintir orang Madura yang menguasai toko kelontong langganan saya. Pedagang yang mau menyediakan rokok kesukaan saya agar tak belanja di tempat lain. Tapi, pedagang rokok ini tak sepenuhnya membuat saya merasa “pulang kampung”.
Rasa rindu yang ganjil di batin saya pada Madura semakin berkobar dengan pilgub DKI. Pesta yang seakan-akan demokrasi yang terlalu sombong dan menganggap DKI adalah segala-galanya. Sehingga debat cagub pun harus disiarkan televisi nasional. Saya jadi rindu keajaiban pemilu di Madura. Saya rindu orang-orang yang tak gemetar dengan kharisma hasil gincu-kosmetik. Saya rindu pengamat politik jadi gemetar suaranya melihat hasil pemilu di Pulau Garam.
Mungkin rindu ini yang membuat rokok saya cepat habis dan segera pulang kampung kecil-kecilan agar rindu saya sedikit reda. Tapi, apa daya kondisi dompet membuat saya harus sedikit menahan diri dan tidak terlalu nyepur kalau sedang udut. Apa Madura punya keajaiban merubah isi dompet saya terus penuh sehingga saya bisa pulang kampung yang sebenarnya? Saya ndak tau...

Jakarta, Tanggal Tua, Januari 2017

Citra D. Vresti Trisna

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.