Laman

Jumat, 03 Februari 2017

Suwung Kopi

Kau adalah suatu ketika yang kusembunyikan. Suatu putaran masa ketika debar jantung tergesa-gesa dan terus merapal mantra: memanggil malam. Mungkin kau lupa, jiwa kita pernah berlesatan di hotel murah tempat Camus menulis cerita porno ”Pemberontak” dan Marx menghitung ulang nilai lebih.

Ah, mungkin kau lupa cara menyembunyikanku di sebalik kutangmu ketika orang tuamu memastikan apakah kau telah pulas atau sedang mengingat-ingat percumbuan kita diantara deret baju di Thamrin.

Selalu tak lupa: cara kita saling merajah nama kita diantara gemetar batu-batu. Diantara tanggal tua sekelam wajah orang tuamu yang membayangkan kita berjalan beriringan di busuknya rumah-rumah kardus di Roxy. Semua seperti tergetar, sayang, sebelum beberapa detik aku cium keningmu dan mengusap leleran peluh. ”Sebentar lagi pagi, sayang,” ucapmu. Aku tahu, sebentar lagi dentang lonceng gereja akan membawamu pergi dan aku berdiam sendiri di warung kopi. Mengingat-ingat nama hari dan mencari tahu siapa pengarang jatuh cinta.

Kita tak pernah lupa cara menari diantara bebauan kopi pagi hari. Warung-warung murah yang kita bayangkan seperti cafe mahal bandara dengan bau kemeja (yang lama dilipat di koper) orang lalulalang.

Kau cantik malam ini. Tapi, aku hanya sendiri. Kau tiada lagi. Mungkin kita sama-sama tua dalam tualang; dalam kepergian yang aku tahu pasti, akan kembali lagi.

Sayang, kopi tinggal separuh dan rokok tinggal sebatang tapi malas turun untuk membeli itu rasanya jancuk sekali.


Kosan Lantai Dua Setia Kawan Tiga Yang Ada Sofanya, 2 Februari 2017
Dalbo

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.