Kau adalah suatu
ketika yang kusembunyikan. Suatu putaran masa ketika debar jantung tergesa-gesa
dan terus merapal mantra: memanggil malam. Mungkin kau lupa, jiwa kita pernah
berlesatan di hotel murah tempat Camus menulis cerita porno ”Pemberontak” dan
Marx menghitung ulang nilai lebih.
Ah, mungkin kau
lupa cara menyembunyikanku di sebalik kutangmu ketika orang tuamu memastikan
apakah kau telah pulas atau sedang mengingat-ingat percumbuan kita diantara
deret baju di Thamrin.
Selalu tak lupa:
cara kita saling merajah nama kita diantara gemetar batu-batu. Diantara tanggal
tua sekelam wajah orang tuamu yang membayangkan kita berjalan beriringan di
busuknya rumah-rumah kardus di Roxy. Semua seperti tergetar, sayang, sebelum beberapa
detik aku cium keningmu dan mengusap leleran peluh. ”Sebentar lagi pagi,
sayang,” ucapmu. Aku tahu, sebentar lagi dentang lonceng gereja akan membawamu
pergi dan aku berdiam sendiri di warung kopi. Mengingat-ingat nama hari dan
mencari tahu siapa pengarang jatuh cinta.
Kita tak pernah
lupa cara menari diantara bebauan kopi pagi hari. Warung-warung murah yang kita
bayangkan seperti cafe mahal bandara dengan bau kemeja (yang lama dilipat di
koper) orang lalulalang.
Kau cantik malam
ini. Tapi, aku hanya sendiri. Kau tiada lagi. Mungkin kita sama-sama tua dalam tualang;
dalam kepergian yang aku tahu pasti, akan kembali lagi.
Sayang, kopi
tinggal separuh dan rokok tinggal sebatang tapi malas turun untuk membeli itu rasanya
jancuk sekali.
Kosan Lantai Dua
Setia Kawan Tiga Yang Ada Sofanya, 2 Februari 2017
Dalbo
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.