Laman

Minggu, 11 Juni 2017

Hikayat Pengintai (baca: Tukang Kepo :p)

Puisi Citra D. Vresti Trisna
Pernah dimuat di Koran Haluan edisi 11 Juni 2017

Kiai Janadaru Tumbang

tak perlu mencemaskan angin yang mengungsi ke taman
menumbangkan kiai janadaru dalam sekali pukulan
sebelum para gadis menangis, jasat beringin akan setia
mengirim pamit paling puisi,

tak perlu berkabung padaku
kecuali tubuh dan kepalamu menyatu,” kata sulur beringin
di suatu subuh.

yogya tak perlu menangis kecuali ngelangut
lelaki coklat yang gemetar dalam obrolan di beranda
menjawab salam pamit wahyu keprabon dengan kepul kopi

cinta akan lahir, cerita-cerita silam akan dibungkus plastik
di atas rak ritel-ritel yang gemuk, hotel-hotel cinta, cafe
tempat muda-mudi menemukan dirinya telanjang
diantara kasak-kusuk angkringan di buntut mata wali
yang mengembara.

para ratib akan setia mencari sumber
suara. dengung buldoser penyingkal kenang gerumbul
daun luntas tempat ayah-ibu menitipkan cinta

janadaru, janadaru, janadaru dalam kepala kami
mengapa roh waktu begitu cepat jadi embun di tubuh kaleng
minuman, pendidikan sakit kepala dan kentut busuk pariwisata?
tanya kami.

tapi kepergian burung-burung di atap keraton
mengajarkan kami. tak perlu di jelaskan; tak ada penjelasan
kecuali angin pukul tiga yang gemetar dan bertiup, ke barat

Yogya


Hikayat Pengintai
            -hex

tak perlu melipat jendela dan membakar pintu
untuk menjauhkan aku dari tubuhmu
sejak langit jakarta ingat cara mendung
aku adalah capung. mengitari hatimu
mengingatkan waktu paling cantik menusuk
birahimu dengan jejarum hujan. lalu aku menjadi zat
mengitari rahimmu dengan welas asih
tak perlu mundur untuk mengintaimu
di unggunan yang mulai dingin, kau rapuh
saat kau membuka mata dan mengagumi matahari
aku adalah hangat persetubuhan. melenakan malam
menghadiahi tidur putih di garis pantai
aku akan jadi panas sengat tawon, membangunkan
dari tidur dengan kehilangan dan rindu madu
cukup dan berhentilah mengarang cerita kepergian
sebab aku adalah bahasa yang pecah dari asap pabrik
menghadiahimu sesak napas hingga mati
tanpa perlawanan dalam pelukku, tanpa penjelasan

Roxy 2015



Hikayat Pengintai 2

bukan hanya mengawasi. tapi kucemaskan mengapa kau berdiam
sebagaimana sungai otomotif yang mampet di selokan kota-kota
yang diajarkan cara memiliki sesuatu. tapi aku sungai deras
mengalir dari air terjun kakek bodoh, menyuburkan bunga teluki
membawa kau dalam kecipak arus, menenggelamkanmu
dalam hening batu agar batinmu dingin sebelum menerima
sauh yang meledak bagai hirosima-nagasaki. sisanya adalah cantik
guguran abu dan hujan coklat. tak perlu ada yang harus mati
sebab rindu pengintaian ini antara kau-aku. dari pengintaian ini
akan lahir kau-aku dalam bentuk yang lain. juga ruangan asing
yang berisi: televisi, radio, meja kecil dengan dua piring sarapan
dan suara-suara orang bicara dengan nada yang dikeras-keraskan

tiada lagi perburuan, kecuali mengawasi kau yang tertidur
usai berkejaran di ruam-ruam jalanan sempit di kota
yang senantiasa membuatmu kian telanjang. maka rebahlah!
api kita hampir memanaskan kuah sup ayam di tungku
rebahlah, sayang jemari kita yang berjalin-jalin menghias kardus
tempat bermukim kau-aku sisa-sisa pertempuran

bukan hanya mengawasi. tapi kusesalkan mengapa kau cepat lesap
sedang aku baru saja terpejam mengarang cerita pertemuan

Roxy, 2015


Hikayat Kembang Gunung

kembang gunung yang kuselipkan di telingamu, kasih
ia adalah puisi yang setia menunggu huma tak berpenghuni
di dalamnya, sebotol anggur menindih surat kabar tahun kemarin
asbak yang habis pinggirnya, dan selembar handuk bau cinta

dari huma itu, kasih, ia senantiasa mengikuti kita
dengan membaca berita: jadwal aborsi muda-mudi, bayi merah
dalam akuarium dibasahi cairan coca-cola dan ayam goreng

kembang itu, kasih, ia selalu tak sabar menunggu kepulangan
pendaki. karena ia mencintai sunyi. menuntaskan janji
pernikahan kita di air terjun alap-alap yang bau hujan, bau keringat
bungkus mie instan, pertanda jejak ke tempat paling puisi, untuk mati


Jakarta, 2015

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.