Laman

Jumat, 29 September 2017

Subsidi untuk Alexis

#DUDAKARTAdanJAKARTA12
Citra D. Vresti Trisna


Pameran transportasi dan infrastuktur kali ini terbilang cukup berhasil. Output yang ingin dikejar adalah membenahi sektor pariwisata nasional serta meningkatkan kunjungan wisatawan domestik dan mancanegara. Betapa mulia para punggawa kementerian perhubungan dan penyelenggara acara yang berniat membuat cost perjalanan wisata jadi murah. Tentu hal ini tidak lepas dari pantauan Wak Dalbo, sepion Warga Dudakarta.
”Wah, ini baru kerjasama yang agung. Pemerintah itu, ya, harusnya membuat terobosan yang seperti ini,” kata Mas Rombong.
”Dengkulmu suwek, Mbong! Ini hanya tema acara, jangan gumunan kamu!?” Protes Dalbo.
”Kita sebagai Warga Dudakarta yang oleh Gusti Allah digariskan untuk study banding dalam rangka mengambil hikmah dan manfaat dari kesontoloyoan Jakarta harusnya melihat ini dengan jeli....”
”Apa sih, Mbong! Ndak usah lebay... Tuh lihat Mbah Ripul sejak tadi hanya diam, mencureng. Kenapa sampeyan, Mbah? Sudah, sudah, sudah, penutupan jalanan Roxy dan demo Warga Setia Kawan ndak usah terlalu sampeyan pikirin,” ujar Dalbo mencoba mengalihkan pembicaraan.
”Saya mikir soal demo itu, Bo-Dalbo. Tapi itu tidak terlalu menyita pikiran. Saya hanya berpikir soal omongan Mas Rombong yang saya pikir ada benarnya. Mungkin Mas Rombong benar karena soal orientasi acara pameran di Smesco, Pancoran, itu sangat mengena dan cocok dengan kondisi saat ini,” ujar Mbah Ripul.
Sambil ngoncek’i ketela, Mbah Ripul melanjutkan, ”pertama, saya ingin melihat ini dari sisi pemerintah. Mengapa tujuan acara yang orientasinya membenahi sektor wisata jadi penting? Itu tidak lepas dari asas manfaat. Kalau kabinet dukun tiban itu tidak dapat membenahi situasi nasional, minimal tidak menambah masalah, terlebih menambah utang. Menggeliatnya sektor pariwisata bukan sekedar karena pengaruh si Realin Syah, pacar Mbah yang main di film 5 cm...”
”Modelmu, Mbah!” Celetuk Dalbo. Sambil kecapan warga Dudakarta menyaksikan Mbah Ripul orasi.
Film itu hanya trigger untuk meledakkan gunungan stress nasional yang dilampiaskan dengan cara dolan, mbolang, oleh kaum yang menamakan diri MTMA. Kalau stress sudah sampai puncak, jalan pulang yang paling aman adalah mbadog dan berwisata. Kalian jangan heran kalau acara kuliner semakin laris. Kalau dulu wisata itu me-re-fresh kejenuhan, kalau sekarang sudah lain. Ketimbang harus gantung diri massal, lebih baik, ya, dolan; lari dari masalah dan berbagai himpitan akibat ketololan dan sikap gembelengan dukun tiban.

Stress nasional bukan semata kesalahan dukun tiban. Tapi manusia Indonesia sudah semakin gagal dalam mengelola stress; gagal untuk menjadi lebih besar dari himpitan itu sendiri. Maka manusia Indonesia ramai-ramai menjadi petualang; merasa seakan-akan jadi penahluk sebuah destinasi. Setelah sampai ke tujuan, foto selfie, update di medsos, mereka merasa seolah-olah berhasil mengatasi segala kerumitan dan merasa jadi jawara hidup. Apa setelah mereka kembali ke kantor masing-masing; setelah pulang ke rumah, mereka bisa segagah di tempat wisata? Ya, tidak! Mereka pasti kelop-kelop sambil ndlahom di bilik masing-masing.
Apa jadinya kalau wisata itu mahal harganya? Bisa gawat, kan? Itulah mengapa upaya pemerintah membenahi pariwisata harus diapresiasi. Ketimbang si dukun tiban itu mengalihkan hampir semua anggaran untuk MRT dan untuk benahi sektor lainnya harus utang, mending suruh kabinetnya memperbanyak tempat wisata, hiburan malam, disko ndangdut, karaoke seribu rupiah pinggir jalan, atau membantu Alexis membuka cabang ke seluruh pelosok tanah air agar tidak terjadi kesenjangan hiburan. Bahkan kalau perlu memberikan subsidi. Kalau tidak bisa membenahi masalah, minimal jangan menambah masalah.
”Sesat itu, Mbah!” Protes Mas Bule yang kebetulan ikut mendengar omongan Mbah Ripul.
”Kamu senang tempat semacam Kalijodo ditutup?” Tanya Mbah Ripul.  
”Senang dong.” Jawab Mas Bule, singkat. ”Memberantas kemaksiatan itu tugas saya dan untuk tujuan itu pula saya dilahirkan,” Jelas Mas Bule.
”Kalijodo ditutup kamu senang. Sekarang kamu mau apa ketika penutupan Kalijodo hanya upaya sentralisasi porstitusi ke tempat yang lebih ekslusif dan mahal. Apakah memberantas kemaksiatan itu lebih penting ketimbang berlaku adil dalam hal hiburan ke supir bajaj; berlaku adil ke coro zaman yang jadi tuna hiburan? Berani sampeyan menghajar porstitusi yang lebih besar dan terstruktur? Berani sampeyan melabrak porstitusi yang lebih besar yang terlindung di balik seragam dinas?”
”Kok jadi melebar, ya, Mbah?”
Mbah Ripul membanting ketela yang dikupasnya. ”Ini yang bikin saya gregeten. Kesombongan semacam ini yang bikin dunia tambah panas. Kalau kamu sudah berani menghajar Alexis dan njundu pemiliknya, saya cium dengkulmu. Jangan hanya bangga Kalijodo tutup tapi mendiamkan Kalijodo lain yang lebih besar. Mestinya kamu tahu Kalijodo itu tempat apa. Pelenyapan Kalijodo tanpa memberikan alternatif hiburan itu dangkal. Cobalah untuk menjadi manusia yang tidak sempit seperti otak eksekutor pelenyapan Kalijodo. Jangan menggusur kalau hanya menyediakan kotak-kotak rusun dan membuat mereka kian tercekik dengan uang sewa, lenyapnya penghidupan dan kenyamanan...”
”Salah maneh! Ealah...”
”....” Mbah Ripul kehabisan kata-kata lantas memunguti ketela yang sudah dikupas dan masuk ke rumah lalu ambil wudhu.


Jakarta, Jumat Pahing, September 2017

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan memaki, kritik, saran. Bebas ngomong.